Suaka Margasatwa Balai Raja: Konservasi Gajah Sumatera di Tengah Ancaman Perambahan

shercat.com, 25 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Hallo Buk Menhut, Kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja-Kecamatan Pinggir  Riau Digarap Developer

Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, terletak di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, adalah salah satu kawasan konservasi penting di Indonesia yang ditetapkan untuk melindungi keanekaragaman hayati, khususnya gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Ditunjuk melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 pada 6 Juni 1986, SM Balai Raja awalnya memiliki luas 18.000 hektar (BBKSDA Riau). Secara administratif, kawasan ini berada di Kecamatan Mandau dan Pinggir, meliputi Desa Balai Raja dan Desa Sebanga, dan dikenal sebagai bagian dari Blok Libo (Mongabay Indonesia). SM Balai Raja merupakan habitat kunci bagi gajah Sumatera, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), dan berbagai spesies flora dan fauna endemik lainnya.

Namun, SM Balai Raja menghadapi ancaman serius akibat perambahan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pemukiman, serta pembangunan infrastruktur seperti jalan tol. Menurut Mongabay Indonesia, dari 18.000 hektar pada 1986, hanya sekitar 200 hektar kawasan berhutan yang tersisa pada 2010, dengan kondisi semakin kritis hingga 2025 (Mongabay Indonesia). Artikel ini mengulas secara mendalam sejarah SM Balai Raja, ekosistemnya, tantangan konservasi, upaya pelestarian, dan prospek masa depan kawasan ini dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.

Sejarah dan Dasar Hukum  Datuk Malang di Balai Raja

SM Balai Raja ditetapkan sebagai suaka margasatwa pada 6 Juni 1986 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986, dengan luas awal 18.000 hektar (BBKSDA Riau). Pada 1992, kawasan ini juga ditetapkan sebagai pusat konservasi gajah Sumatera, mengakui perannya sebagai salah satu kantong populasi gajah di Riau (Mongabay Indonesia). Kawasan ini berada di bawah pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, khususnya Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II dan Seksi Konservasi Wilayah III (BBKSDA Riau).

Selain itu, pada Juni 1992, Gubernur Riau menetapkan Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga seluas 5.873 hektar di dalam SM Balai Raja sebagai bagian dari upaya konservasi gajah Sumatera (Alamendah’s Blog). PLG ini awalnya menampung sejumlah gajah untuk pelatihan dan penyelamatan, tetapi hanya tujuh ekor gajah yang tersisa pada 2010 (Alamendah’s Blog). Secara geografis, SM Balai Raja terletak pada koordinat 1°05’–1°15’ Lintang Utara dan 101°45’–102°00’ Bujur Timur, mencakup lanskap hutan dataran rendah dan rawa-rawa (BBKSDA Riau).

Kawasan ini juga memiliki sejarah eksploitasi sumber daya sejak 1924, ketika menjadi bagian dari konsesi minyak bumi oleh perusahaan seperti Chevron Pacific Indonesia. Pada 1970-an, konsesi perkebunan akasia dan kelapa sawit mulai masuk, menjadi cikal bakal perambahan besar-besaran pada 2000-an (Tempo.co). Penetapan SM Balai Raja sebagai kawasan konservasi bertujuan untuk melindungi ekosistem dan satwa liar dari ancaman aktivitas manusia, tetapi implementasinya menghadapi tantangan berat.

Karakteristik Ekosistem

SM Balai Raja memiliki ekosistem hutan dataran rendah tropis dengan vegetasi rawa-rawa dan semak belukar, yang mendukung keanekaragaman flora dan fauna. Menurut BBKSDA Riau, kawasan ini kaya akan biodiversitas, meskipun sebagian besar telah terdegradasi akibat perambahan (BBKSDA Riau).

Flora

Vegetasi asli SM Balai Raja mencakup:

  • Meranti (Shorea sp.): Pohon kayu keras yang mendominasi hutan dataran rendah.

  • Balam (Palaquium spp.): Spesies pohon penghasil getah.

  • Bintangur (Calophyllum sp.): Pohon dengan kayu berkualitas tinggi.

  • Kempas (Koompassia malaccensis): Pohon tinggi yang penting untuk ekosistem hutan.

  • Kelat (Eugenia claviflora): Tanaman dengan buah yang menjadi sumber makanan satwa.

  • Kulim (Scorodocarpus borneensis): Pohon dengan aroma khas.

  • Giam (Cotylelobium spp.): Spesies pohon langka.

  • Rotan (Calamus cirearus): Tumbuhan merambat untuk kerajinan.

  • Pandan (Pandanus sp.): Tumbuhan rawa-rawa.

  • Kantong Semar (Nepenthes sp.): Tanaman karnivor endemik (BBKSDA Riau).

Namun, sebagian besar vegetasi asli telah hilang, digantikan oleh perkebunan kelapa sawit dan karet, dengan hanya 200 hektar hutan tersisa pada 2010 (Mongabay Indonesia).

Fauna

SM Balai Raja adalah habitat bagi berbagai spesies satwa liar yang dilindungi, termasuk:

  • Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus): Spesies kunci dengan populasi menurun drastis.Berita Suaka Margasatwa Balai Raja Hari Ini - Kabar Terbaru Terkini |  Liputan6.com

  • Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae): Predator puncak yang terancam punah.Waspada, Harimau Sumatera Terpantau di Jalan Lingkar Balai Raja, Pinggir |  Riau Lantang

  • Beruang Madu (Helarctos malayanus): Mamalia omnivor yang bergantung pada hutan. ITAM SI BERUANG MADU (HELARCTOS MALAYANUS) BELUM BISA DILEPAS LIARKAN  KARENA MASIH JINAK | BBKSDA Riau

  • Tapir (Tapirus indicus): Herbivor besar yang sensitif terhadap gangguan habitat. PENYELAMATAN TAPIR YANG TERLUKA DI BAGIAN MATANYA DI DESA LUBUK AMBACANG,  KEC. HULU KUANTAN, KAB. KUANTAN SINGINGI | BBKSDA Riau

  • Siamang (Symphalangus syndactylus): Primata dengan nyanyian khas. BKSDA Sumatera Selatan pulihkan kawasan Suaka Margasatwa Dangku - ANTARA  News

  • Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis): Primata yang sering berkonflik dengan manusia. Penyerbu Rumah Warga Bandung itu Monyet atau Kera? Ini Penjelasannya

  • Biawak (Varanus sp.): Reptil besar yang adaptif. Bayang-bayang Korporasi di Wisata Pulau Komodo | tempo.co

  • Ular Sanca (Python sp.): Reptil predator. Warga Serahkan Tiga Ular Sanca Kembang, BBKSDA Jawa Timur: Upaya Mitigasi  Konflik Satwa di Banyuwangi - Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan  Ekosistem

  • Burung Enggang (Buceros sp.): Burung ikonik dengan peran ekologis penting (BBKSDA Riau, Alamendah’s Blog).

Populasi gajah Sumatera menjadi sorotan utama. Menurut Mongabay Indonesia, pada 2014, terdapat 25 individu gajah di SM Balai Raja, tetapi pada 2019 hanya 5–7 ekor yang tersisa, termasuk Dita, Seruni, Rimba, Getar, Codet, dan Bara. Gajah Dita dilaporkan mati pada 2019 (Mongabay Indonesia). Kelahiran anak gajah, seperti yang dilaporkan pada 2018 oleh Leuser Conservation Partnership, memberikan harapan, tetapi tidak cukup untuk mengimbangi tingkat kematian (Leuser Conservation Partnership).

Tantangan Konservasi

SM Balai Raja menghadapi sejumlah tantangan serius yang mengancam kelestarian ekosistem dan satwa liarnya, terutama gajah Sumatera.

Perambahan dan Alih Fungsi Lahan

Perambahan adalah ancaman utama SM Balai Raja. Menurut Jawa Pos, dari 18.000 hektar pada 1986, sekitar 15.000 hektar telah dikuasai masyarakat dan perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit, kebun karet, dan pemukiman (Jawa Pos). Pada 2010, hanya 200 hektar kawasan berhutan yang tersisa, dengan sisanya berupa semak belukar dan rawa-rawa (Mongabay Indonesia). Postingan X oleh @indiratendi pada 2022 menyebutkan bahwa kawasan konservasi menyusut dari 13.900 hektar menjadi hanya 124 hektar, meskipun angka ini memerlukan verifikasi lebih lanjut (@indiratendi). Alih fungsi lahan ini juga melibatkan aktivitas perusahaan seperti PT Chevron Pacific Indonesia, yang telah mengeksploitasi minyak sejak 1924 (Tempo.co).

Perambahan ini diperparah oleh korupsi dalam proyek infrastruktur, seperti proyek jalan Duri-Pangkalan Nyirih. Menurut Mongabay Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pejabat dan kontraktor sebagai tersangka karena praktik korupsi yang merusak kawasan konservasi (Mongabay Indonesia).

Konflik Manusia-Gajah

Penurunan habitat telah memicu konflik antara gajah Sumatera dan masyarakat sekitar. Gajah sering masuk ke pemukiman dan kebun warga, menyebabkan kerusakan tanaman dan, dalam beberapa kasus, korban jiwa (@indiratendi). Menurut Ecolify.org, konflik ini merugikan baik satwa maupun warga, karena gajah kehilangan ruang jelajah, sementara warga menghadapi ancaman keselamatan dan kerugian ekonomi (Ecolify.org). Jumar, seorang petani di Desa Pematang Pudu, menggambarkan gajah sebagai “keluarga” tetapi mengakui sulitnya hidup berdampingan akibat menyusutnya habitat (Tempo.co).

Pembangunan Infrastruktur

Pembangunan jalan, termasuk Jalan Tol Pekanbaru-Dumai (bagian dari Tol Trans-Sumatera) dan jalan lingkar seperti Jalan Lingkar Barat Duri, Jalan Duri-Sungai Pakning, dan Jalan Lingkar Batu Panjang-Pangkalan Nyirih, telah mempersempit ruang hidup gajah (Tempo.co). Jalan tol ini melintas antara SM Balai Raja dan SM Giam Siak Kecil, yang merupakan koridor jelajah gajah. Meskipun Kementerian PUPR membangun jembatan tinggi sebagai koridor lintasan gajah, efektivitasnya masih dipertanyakan (Tempo.co).

Penurunan Populasi Gajah

Populasi gajah Sumatera di SM Balai Raja menurun drastis. Dari 25 ekor pada 2014, hanya 5–7 ekor tersisa pada 2019 (Mongabay Indonesia). Faktor penyebabnya meliputi hilangnya habitat, konflik dengan manusia, dan kematian akibat perburuan atau kecelakaan. Meskipun ada kelahiran, seperti anak gajah dari induk Seruni pada 2018, tingkat kelahiran tidak sebanding dengan kematian (Leuser Conservation Partnership).

Upaya Pelestarian

Meskipun menghadapi tantangan berat, berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan SM Balai Raja dan satwa liarnya, khususnya gajah Sumatera.

Patroli dan Penghijauan

BBKSDA Riau secara rutin melakukan patroli di SM Balai Raja untuk mencegah perambahan dan memantau satwa liar. Pada Oktober 2020, petugas Resort Duri bersama Manggala Agni memasang rambu-rambu kawasan dan menanam 350 bibit pohon, termasuk matoa, sirsak, kepencong, dan gaharu (Kementerian LHK). Kegiatan penghijauan ini bertujuan memulihkan ekosistem dan menyediakan habitat bagi satwa (KSDAE).

Kemitraan Konservasi

BBKSDA Riau bekerja sama dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesadaran konservasi. Sosialisasi dilakukan untuk mengajak warga menjaga kawasan dan berpartisipasi dalam penanaman pohon (Kementerian LHK). Pada Februari 2023, BBKSDA Riau dan Pemkab Bengkalis meninjau rencana kegiatan di SM Balai Raja, termasuk pengelolaan jalan eksisting, pendidikan, kesehatan, dan perikanan, untuk memastikan pembangunan sejalan dengan konservasi (Diskominfotik Bengkalis).

Penataan Blok Pengelolaan

Pada 2018, BBKSDA Riau mengusulkan penataan blok pengelolaan SM Balai Raja berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.76/Menlhk-Setjen/2015. Penataan ini mencakup:

  • Blok Khusus: Seluas 15.123,96 hektar, yang sebagian besar dikuasai masyarakat dan perusahaan.

  • Blok Rehabilitasi: Seluas 76,501 hektar untuk pemulihan ekosistem (Jawa Pos). Tujuan penataan adalah menyinkronkan pengelolaan konservasi dengan pembangunan daerah, meskipun implementasinya menghadapi tantangan akibat luasnya lahan yang telah dialihfungsikan (Jawa Pos).

Komitmen Masyarakat

Dalam diskusi publik yang digelar BBKSDA Riau, masyarakat yang memiliki perkebunan di SM Balai Raja berjanji untuk tidak memperluas penanaman dan, jika memungkinkan, mengurangi kebun mereka. Hal ini dianggap sebagai langkah penting untuk memulihkan kawasan (Jawa Pos).

Prospek dan Rekomendasi

Hingga Mei 2025, SM Balai Raja tetap berada dalam kondisi kritis. Menurut Yuliantony dari Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, penyelamatan populasi gajah semakin sulit karena habitat yang tersisa hanya 200 hektar dari 15.343 hektar kawasan konservasi (Mongabay Indonesia). Keberadaan infrastruktur seperti kantor camat, gedung sekolah, dan tempat pramuka di dalam kawasan menunjukkan lemahnya pengawasan (Mongabay Indonesia).

Untuk menyelamatkan SM Balai Raja, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:

  1. Pemulihan Habitat: Perluas program penghijauan dengan menanam spesies asli seperti meranti dan bintangur untuk memulihkan ekosistem hutan.

  2. Koridor Satwa: Pastikan efektivitas koridor lintasan gajah di bawah jalan tol dengan pemantauan rutin dan penambahan jalur hijau.

  3. Penegakan Hukum: Tingkatkan pengawasan dan tindakan hukum terhadap perambahan dan aktivitas ilegal, termasuk melibatkan KPK untuk menangani korupsi terkait lahan.

  4. Kemitraan dengan Perusahaan: Libatkan perusahaan seperti Chevron dalam program konservasi, misalnya melalui dana CSR untuk rehabilitasi hutan.

  5. Edukasi Masyarakat: Perkuat sosialisasi untuk mengurangi konflik manusia-gajah, termasuk pelatihan mitigasi konflik dan kompensasi kerugian warga.

  6. Solusi Jangka Panjang: Pertimbangkan relokasi gajah ke kawasan konservasi yang lebih luas, seperti Taman Nasional Tesso Nilo, jika habitat Balai Raja tidak dapat dipulihkan (Mongabay Indonesia).

Kesimpulan

Suaka Margasatwa Balai Raja adalah kawasan konservasi yang kritis di Riau, ditetapkan pada 1986 untuk melindungi gajah Sumatera dan keanekaragaman hayati lainnya. Dengan luas awal 18.000 hektar, kawasan ini kini hanya menyisakan sekitar 200 hektar hutan akibat perambahan, alih fungsi lahan, dan pembangunan infrastruktur. Populasi gajah Sumatera menurun drastis dari 25 ekor pada 2014 menjadi 5–7 ekor pada 2019, dengan konflik manusia-gajah semakin meningkat. Meskipun upaya seperti patroli, penghijauan, dan kemitraan konservasi dilakukan oleh BBKSDA Riau, tantangan berupa korupsi, lemahnya penegakan hukum, dan tekanan pembangunan tetap besar. SM Balai Raja adalah cerminan tantangan konservasi di Indonesia, di mana pelestarian satwa liar harus bersaing dengan kepentingan ekonomi dan pembangunan. Dengan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, masih ada harapan untuk menyelamatkan SM Balai Raja sebagai warisan biodiversitas Indonesia.

Daftar Pustaka

BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia

BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam

BACA JUGA: Pemikiran Klasik Federalisme: Prinsip, Tokoh, dan Relevansi dalam Tata Kelola Modern