shercat.com, 28 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, terletak di Provinsi Riau, Indonesia, adalah salah satu kawasan konservasi penting yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk spesies terancam punah seperti harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae). Dengan luas 141.226,25 hektar, kawasan ini memainkan peran strategis dalam menjaga ekosistem hutan hujan dataran rendah, mengatur tata air, dan mencegah bencana alam seperti banjir dan longsor. Namun, kawasan ini juga menghadapi ancaman serius dari aktivitas ilegal seperti pembalakan liar dan perambahan. Artikel ini menyajikan panduan lengkap tentang sejarah, keanekaragaman hayati, potensi ekowisata, tantangan konservasi, dan upaya pelestarian Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, dengan fokus pada keberlanjutan dan keterlibatan masyarakat.
Sejarah Penetapan Kawasan 
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling pertama kali ditunjuk sebagai kawasan konservasi melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau No. 149/V/1982 pada tanggal 21 Juni 1982, dengan luas awal sekitar 136.000 hektar. Keputusan ini bertujuan untuk melindungi hutan di sekitar Bukit Rimbang dan Bukit Baling sebagai Hutan Tutupan/Suaka Alam karena fungsinya sebagai suaka margasatwa dan sumber mata air yang vital untuk pengaturan tata air, pencegahan banjir, longsor, dan erosi.
Pada 23 Mei 2014, status kawasan ini diperkuat melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014, yang menetapkan luas resmi sebesar 141.226,25 hektar. Kemudian, pada 17 Juni 2016, kawasan ini ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 468/Menlhk/Setjen/PLA.0/6/2016, memperkuat pengelolaan konservasi berbasis masyarakat. Secara geografis, kawasan ini terletak pada koordinat 0°08’–0°37’ LS dan 100°48’–101°17’ BT, meliputi wilayah administratif Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi di Riau, serta berbatasan dengan hutan lindung di Provinsi Sumatra Barat.
Sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa, kawasan ini telah dihuni masyarakat secara turun-temurun selama ratusan tahun, bahkan sejak era Kerajaan Gunung Sahilan (abad ke-16 hingga ke-17). Masyarakat adat di wilayah ini, yang berada di bawah Kekhalifahan Batu Songgan, telah memanfaatkan hutan dan sungai untuk kebutuhan hidup, seperti mencokau (tradisi menangkap ikan secara komunal) dan pengambilan kayu untuk keperluan rumah tangga. Karena permukiman sudah ada sebelum penetapan kawasan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau memilih untuk tidak merelokasi penduduk, melainkan mengintegrasikan mereka dalam pengelolaan konservasi berbasis masyarakat.
Keanekaragaman Hayati
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling merupakan ekosistem hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian 100–350 meter di atas permukaan laut, yang kaya akan flora dan fauna. Kawasan ini menjadi habitat bagi sejumlah spesies endemik dan terancam punah, menjadikannya salah satu kawasan konservasi strategis di Sumatra.
Flora
Berdasarkan laporan inventarisasi flora pada Juli 2012 dan Ekspedisi Ilmiah Studi Konservasi Lingkungan 2016 oleh Himakova IPB, terdapat 104 jenis flora di luar anggrek-anggrekan di kawasan ini. Salah satu spesies flora yang menonjol adalah cendawan muka rimau atau Rafflesia hasseltii, yang dikenal sebagai Rafflesia merah-putih oleh penduduk lokal. Bunga parasit ini, yang tumbuh pada inang Tetrastigma leucostaphyllum, memiliki diameter 30–50 cm saat mekar, dengan warna merah kecokelatan dan lempeng putih yang tidak beraturan. Statusnya genting dalam Daftar Merah IUCN, dan dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Keberadaan Rafflesia ini menunjukkan bahwa keragaman hayati di kawasan masih terjaga, meskipun terancam oleh perambahan.
Jenis flora lain yang ditemukan meliputi:
-
Kelat (Eugenia claviflora)
-
Meranti (Shorea sp.)
-
Bintagur (Calophyllum sp.)
-
Suntai (Palaquium walsurifolium)
-
Punak (Tetramerista glabra)
-
Ramin (Gonystylus bancanus)
-
Durian Hutan (Durio sp.)
-
Balam (Palaquium spp.)
Namun, keberadaan tanaman invasif seperti tongke hutan (Acacia mangium) dari kawasan hutan tanaman industri di sekitar suaka mengancam flora lokal. Penelitian oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung pada Agustus 2020 menunjukkan perlunya pendataan populasi Acacia mangium untuk mencegah dampak invasifnya terhadap ekosistem.
Fauna 
Kawasan ini adalah habitat bagi lima dari enam jenis kucing liar di Sumatra, yaitu:
-
Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), yang berstatus critically endangered menurut IUCN, dengan populasi liar diperkirakan hanya 400–500 ekor.
-
Macan dahan (Neofelis diardi)
-
Kucing emas (Catopuma temminckii)
-
Kucing hutan (Felis bengalensis)
-
Kucing batu (Felis marmorata)
Selain kucing liar, kawasan ini juga menjadi rumah bagi primata seperti:
-
Siamang (Symphalangus syndactylus)
-
Owa ungko (Hylobates agilis)
-
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
-
Beruk (Macaca nemestrina)
Mamalia lain yang ditemukan meliputi tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa sambar (Cervus unicolor), babi hutan (Sus scrofa), babi berjanggut, musang, luwak, dan binturong. Burung seperti kuau raja (Argusianus argus) dan enggang/rangkong (Buceros sp.) juga memperkaya keanekaragaman hayati kawasan ini. Kamera jebak yang dipasang oleh BBKSDA Riau dan WWF-Indonesia berhasil mendokumentasikan keberadaan harimau Sumatra dan kuau raja, menegaskan pentingnya kawasan ini sebagai habitat satwa liar.
Sungai Subayang dan Sungai Bio, yang membelah kawasan, menyediakan sumber pangan berupa ikan air tawar bagi masyarakat lokal, sekaligus mendukung ekosistem satwa air. Keberlimpahan babi hutan di kawasan ini juga menunjukkan ketersediaan mangsa yang cukup untuk harimau Sumatra, mendukung kelangsungan hidup predator puncak ini.
Potensi Ekowisata 
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling memiliki potensi ekowisata yang besar karena keindahan alamnya yang masih asri, termasuk hutan rimbun, sungai jernih, dan air terjun. Beberapa objek wisata menarik meliputi:
-
Air Terjun Batu Dinding di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, dengan dua air terjun setinggi 6 dan 3 meter serta air selancar. Lokasi ini dilengkapi pondok istirahat untuk menikmati pemandangan.
-
Sungai Subayang dan Sungai Bio, yang menawarkan aktivitas susur sungai menggunakan piyau (sampan bermesin). Sungai ini memiliki air jernih dengan kedalaman 50–150 cm, dikelilingi hutan dan tebing bukit, menciptakan pemandangan seperti lukisan alam.
-
Pengamatan Satwa Liar, terutama primata seperti siamang dan monyet ekor panjang, serta burung seperti kuau raja. Kamera jebak juga memungkinkan pengamatan tidak langsung terhadap harimau Sumatra.
-
Jalur Interpretasi, yang menghubungkan sembilan desa (Tanjung Belit hingga Pangkalan Serai) sepanjang 36 km. Jalur ini, yang 25% telah selesai pada 2020, dirancang untuk wisata sepeda dan trekking ringan, dengan lebar 2 meter untuk kendaraan roda dua. Sebanyak 70 jembatan, termasuk jembatan gantung, sedang dibangun untuk mendukung aksesibilitas.
BBKSDA Riau merancang wisata konservasi berbasis masyarakat, seperti pusat pembiakan rusa di Desa Aur Kuning, di mana wisatawan dapat membeli rusa untuk dilepas ke hutan sebagai mangsa harimau, mendukung ekosistem sekaligus ekonomi lokal. Setiap desa di kawasan memiliki keunikan, misalnya kerajinan perahu di Desa Terusan, yang dapat menjadi daya tarik wisata. Gubernur Riau H. Syamsuar pada 2020 mengusulkan perubahan status kawasan menjadi Taman Nasional untuk meningkatkan potensi wisata alam, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengembangkan ekonomi berbasis pariwisata di masa pandemi.
Akses ke kawasan dapat ditempuh melalui:
-
Desa Gema, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, sekitar 100 km (2–2,5 jam) dari Pekanbaru, dilanjutkan dengan perahu selama 30 menit ke Desa Muara Bio.
-
Desa Petai, Kecamatan Singingi Hilir, sekitar 120 km (3–3,5 jam) dari Pekanbaru, dengan akses darat ke Sungai Tapi (12 km dari kantor resort BBKSDA).
Ancaman terhadap Konservasi 
Meskipun memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling menghadapi ancaman serius, antara lain:
-
Pembalakan Liar: Aktivitas illegal logging merebak, terutama di musim hujan, dengan kayu jenis meranti dan balam diangkut melalui Sungai Subayang ke dermaga Gema. Pada 2019, diperkirakan 100 m³ kayu diangkut setiap hari oleh 10 truk, dilakukan secara terang-terangan. Polda Riau dan Balai Gakkum KLHK menahan enam truk kayu ilegal pada Juni–Juli 2019, namun penindakan belum memberikan efek jera.
-
Perambahan dan Alih Fungsi Lahan: Masyarakat lokal membuka lahan untuk perkebunan karet dan sawit, baik di dalam kawasan (seperti di Desa Tanjung Beringin) maupun di perbatasan kawasan (Desa Muara Bio). Aktivitas ini sering terjadi karena kurangnya pemahaman tentang batas kawasan.
-
Pertambangan Emas Tanpa Izin: Pertambangan ilegal meningkatkan risiko kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
-
Perburuan Liar: Satwa dilindungi seperti harimau Sumatra menjadi target perburuan, mengancam kelangsungan populasinya.
-
Fragmentasi Habitat: Pembangunan jalan dan perkebunan di sekitar kawasan menyebabkan hilangnya habitat satwa liar, terutama kucing liar.
Faktor sosial juga memperumit konservasi. Sebanyak 24 desa berada di dalam dan sekitar kawasan, dengan tujuh desa (Tanjung Belit, Muara Bio, Tanjung Beringin, Gajah Betalut, Aur Kuning, Subayang Jaya, Pangkalan Serai) terletak langsung di dalam suaka. Masyarakat adat yang telah tinggal selama ratusan tahun bergantung pada hutan dan sungai, namun aktivitas seperti pembalakan sering didorong oleh kebutuhan ekonomi dan kurangnya alternatif mata pencaharian.
Upaya Pelestarian
Untuk mengatasi ancaman dan memastikan kelestarian kawasan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, NGO, dan masyarakat lokal:
-
Pengelolaan Berbasis Masyarakat: Pada 30 Oktober 2018, BBKSDA Riau menggelar lokakarya yang menghasilkan piagam kesepakatan antara pemangku kepentingan, termasuk Bupati Kampar, Bupati Kuantan Singingi, dan Raja Gunung Sahilan, untuk mengelola kawasan secara kolaboratif. Pendekatan ini melibatkan masyarakat adat dalam konservasi, seperti pembentukan polisi adat di 14 desa untuk memantau aktivitas ilegal.
-
Program Ekowisata: WWF, YAPEKA, dan Indonesia Ecotourism Network (Indecon) sejak 2015 mendampingi masyarakat untuk mengembangkan ekowisata dan hasil hutan non-kayu, seperti intensifikasi kebun karet, sebagai alternatif mata pencaharian. Program ini juga melibatkan edukasi konservasi di sekolah-sekolah lokal.
-
Penegakan Hukum: Polda Riau dan Balai Gakkum KLHK melakukan operasi pemberantasan illegal logging, meskipun tantangan kompleksitas sosial menyulitkan penindakan. Bupati Kuantan Singingi Mursini pada 2018 menyerukan penegakan hukum tegas terhadap pelaku perambahan, perburuan, dan pertambangan ilegal.
-
Peningkatan Infrastruktur dan Aksesibilitas: Pemerintah Kabupaten Kampar membangun jalur interpretasi dan jembatan untuk mendukung ekowisata dan akses masyarakat, dengan realisasi 22,04 km jalur dan 12 jembatan gantung hingga 2020.
-
Seminar dan Workshop: Pada 5 Desember 2024, Pj Bupati Kampar mengadakan seminar di UGM Yogyakarta untuk membahas pengelolaan terintegrasi kawasan, melibatkan akademisi, pemerintah pusat, dan NGO. Usulan termasuk peningkatan akses pendidikan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat, dan perubahan status menjadi Taman Nasional.
-
Pemantauan dan Inventarisasi: BBKSDA Riau rutin melakukan pengumpulan data (puldasi) untuk memantau bukaan lahan dan populasi flora-fauna, seperti penelitian Acacia mangium pada 2020.
Keunggulan dan Tantangan
Keunggulan
-
Keanekaragaman Hayati Tinggi: Habitat bagi harimau Sumatra, Rafflesia hasseltii, dan ratusan spesies flora-fauna lainnya.
-
Potensi Ekowisata: Sungai jernih, air terjun, dan jalur interpretasi menarik wisatawan pencinta alam.
-
Peran Ekologis: Mengatur tata air dan mencegah bencana alam di wilayah Riau dan Sumatra Barat.
-
Kearifan Lokal: Tradisi seperti mencokau dan kerajinan perahu memperkaya nilai budaya kawasan.
-
Dukungan Multi-Pihak: Kolaborasi antara pemerintah, NGO, dan masyarakat adat memperkuat konservasi.
Tantangan
-
Pembalakan Liar: Aktivitas terang-terangan di dermaga Gema mengancam hutan dan habitat satwa.
-
Perambahan: Pembukaan lahan untuk perkebunan mengurangi tutupan hutan.
-
Kemiskinan Ekstrem: Masyarakat lokal bergantung pada sumber daya hutan karena keterbatasan mata pencaharian alternatif.
-
Akses Pendidikan Terbatas: Membatasi kesadaran konservasi di kalangan masyarakat.
-
Kompleksitas Sosial: Permukiman turun-temurun mempersulit penegakan aturan konservasi.
Kesimpulan
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling adalah permata konservasi di Riau yang menawarkan keanekaragaman hayati luar biasa, dari harimau Sumatra hingga Rafflesia merah-putih, serta potensi ekowisata yang menjanjikan. Ditetapkan sebagai suaka margasatwa sejak 1982 dan diperkuat pada 2014, kawasan ini berperan penting dalam menjaga ekosistem hutan hujan dataran rendah dan tata air di Sumatra. Namun, ancaman seperti pembalakan liar, perambahan, dan pertambangan ilegal menguji ketahanan ekosistem ini. Melalui pengelolaan berbasis masyarakat, pengembangan ekowisata, penegakan hukum, dan kolaborasi dengan NGO seperti WWF dan YAPEKA, pemerintah berupaya menyeimbangkan konservasi dengan kesejahteraan masyarakat lokal. Usulan perubahan status menjadi Taman Nasional dan pembangunan infrastruktur seperti jalur interpretasi menunjukkan komitmen untuk menjadikan kawasan ini destinasi wisata alam yang berkelanjutan. Dengan komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dapat terus menjadi benteng pelestarian keanekaragaman hayati dan warisan alam Indonesia.
BACA JUGA: Panduan Lengkap Travelling ke Negara Palau: Petualangan di Surga Pasifik
BACA JUGA: Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Penduduk Negara Palau: Keberlanjutan di Kepulauan Pasifik
BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya