Suaka Margasatwa Dolok Surungan: Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Tengah Tantangan dan Kontroversi

shercat.com, 22 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Suaka Margasatwa Dolok Surungan

Suaka Margasatwa Dolok Surungan adalah kawasan konservasi penting di Sumatera Utara, Indonesia, yang didedikasikan untuk melindungi keanekaragaman hayati, terutama satwa langka seperti tapir (Tapirus indicus) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Dengan luas 23.800 hektar, kawasan ini merupakan salah satu suaka margasatwa terbesar di Sumatera Utara, menyimpan ekosistem hutan hujan tropis yang kaya serta memiliki peran vital sebagai daerah tangkapan air (catchment area) Danau Toba dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan-Barumun. Namun, keberadaannya juga diwarnai tantangan seperti perambahan hutan, keterbatasan sumber daya pengelolaan, dan konflik dengan masyarakat adat Sigalapang. Artikel ini menyajikan panduan lengkap tentang Suaka Margasatwa Dolok Surungan, berdasarkan sumber terpercaya hingga Mei 2025, dengan fokus pada sejarah, ekologi, tantangan, dan prospek masa depan.

1. Sejarah dan Pembentukan Kontorversi Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan - PW AMAN TANO BATAK

Penetapan Awal pada Era Kolonial

Suaka Margasatwa Dolok Surungan berawal dari penetapan dua kompleks hutan pada masa kolonial Belanda melalui Surat Keputusan Zelfbestuur No. 50 tanggal 25 Juni 1924. Kompleks Hutan Dolok Surungan (Register 21) seluas 10.800 hektar dan Kompleks Hutan Dolok Sihobun (Register 22) seluas 13.000 hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan negara. Penetapan ini bertujuan untuk melindungi sumber daya hutan dan satwa liar di wilayah tersebut, meskipun tidak ada dokumentasi yang jelas tentang konsultasi dengan masyarakat lokal, seperti yang diklaim oleh keturunan marga Hutagaol yang telah mendiami kawasan ini sejak abad ke-18 (dendodaus.blogspot.com, 2010).

Status Suaka Margasatwa

Pada 2 Februari 1974, kedua kompleks hutan tersebut digabungkan menjadi Suaka Margasatwa Dolok Surungan dengan luas total 23.800 hektar melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 43/Kpts/Um/2/1974. Penetapan ini didasarkan pada pentingnya kawasan sebagai habitat satwa liar yang dilindungi, terutama tapir (Tapirus indicus), serta untuk mendukung penelitian ilmiah dan pendidikan. Pada 1978, Balai Planologi Wilayah I melakukan penataan batas dengan panjang total 228,63 km untuk memperjelas wilayah konservasi (bbksdasumaterautara.id, 2016).

Pengelolaan kawasan ini berada di bawah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, yang bertugas menjaga kelestarian ekosistem dan mencegah aktivitas ilegal seperti perambahan dan penebangan liar (bbksdasumaterautara.id, 2016).

2. Lokasi dan Topografi Kontorversi Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan - PW AMAN TANO BATAK

Letak Administratif

Suaka Margasatwa Dolok Surungan terletak di tiga kabupaten di Sumatera Utara:

  • Kabupaten Toba Samosir: Meliputi desa Meranti Timur, Meranti Tengah, Meranti Utara, Meranti Barat, dan Panamparan (Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Habinsaran, Parsoburan, dan Parhitean).

  • Kabupaten Asahan: Kecamatan Bandar Pulau, khususnya Desa Lobu Rampa.

  • Kabupaten Labuhan Batu Utara: Desa Bandar Manis (nusapedia.com, 2025).

Kawasan ini berjarak sekitar 50 km di sebelah tenggara Danau Toba, menjadikannya bagian penting dari ekosistem regional (forestid.blogspot.com, 2015).

Topografi dan Geografi

Secara topografis, Dolok Surungan berbukit-bukit dengan kemiringan lereng antara 600–900 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ketinggian kawasan bervariasi dari 200 mdpl di Resort Salipotpot hingga 1.080 mdpl di Dolok Tembus dekat Aek Unsim. Ekosistemnya merupakan bagian dari Paparan Sunda, landas kontinen Eurasia yang mendukung vegetasi hutan hujan tropis (forestid.blogspot.com, 2015). Kawasan ini juga memiliki sungai-sungai kecil seperti Aek Sogar dan Aek Unsim, yang berkontribusi pada sistem hidrologi DAS Asahan-Barumun dan Danau Toba (nusapedia.com, 2025).

Aksesibilitas Kontorversi Kawasan Suaka Margasatwa Dolok Surungan - PW AMAN TANO BATAK

Ada dua rute utama untuk mencapai Suaka Margasatwa Dolok Surungan:

  1. Medan–Kisaran–Dolok Maraja–Salipotpot: Jarak sekitar 235 km, dapat ditempuh dalam 7 jam.

  2. Medan–Prapat–Pasoburan–Janji: Jarak sekitar 260 km, juga memakan waktu sekitar 7 jam (dendodaus.blogspot.com, 2010).

Akses yang relatif sulit ini menjadi tantangan dalam pengawasan dan pengelolaan kawasan, tetapi juga membantu menjaga keaslian ekosistem di beberapa wilayah yang jarang dikunjungi.

3. Keanekaragaman Flora dan Fauna

Flora

Vegetasi Suaka Margasatwa Dolok Surungan didominasi oleh hutan hujan tropis dengan keanekaragaman tinggi. Famili tumbuhan yang mendominasi meliputi:

  • Sapotaceae, Dipterocarpaceae, Podocarpaceae, Euphorbiaceae, Anacardiaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Meliaceae, Moraceae, Annonaceae, dan Sapindaceae.

  • Spesies menarik seperti Aglaonema rotundum, yang sering digunakan sebagai induk silangan tanaman hias, ditemukan di kawasan ini (dendodaus.blogspot.com, 2010).

  • Di ketinggian 1.000–2.173 mdpl, terdapat spesies seperti Anturmangan (Casuarina sp.), Mayang (Palaguium sp.), Haundolok (Eugenia sp.), dan Medang (Manglietia sp.) (forestid.blogspot.com, 2015).

Keanekaragaman flora ini mendukung ekosistem yang stabil dan menyediakan habitat bagi berbagai satwa liar.

Fauna

Kawasan ini adalah habitat penting bagi satwa liar yang dilindungi, dengan spesies unggulan meliputi:

  • Tapir (Tapirus indicus): Spesies prioritas konservasi karena populasinya yang menurun.

  • Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae): Terekam oleh camera trap pada 2018, menunjukkan keberadaan populasi yang masih bertahan (ksdae.menlhk.go.id, 2018).

  • Rusa (Cervus unicolor), Kambing Hutan, Babi Hutan (Sus sp.), Siamang (Hylobates sp.), Landak, Elang (Famili: Accipitridae), dan Burung Rangkong.

  • Spesies lain yang terdeteksi melalui survei meliputi berbagai jenis amfibi, burung penyanyi, ikan, serangga, dan reptil (forestid.blogspot.com, 2015).

Keanekaragaman fauna ini menjadikan Dolok Surungan sebagai kawasan konservasi terluas ketiga di Sumatera Utara setelah Taman Hutan Raya Bukit Barisan (51.600 ha) dan Suaka Margasatwa Barumun (40.330 ha) (dendodaus.blogspot.com, 2010).

4. Peran Ekologis dan Sosial  Suasana alami pegunungan dikaki Dolok surungan - YouTube

Fungsi Ekologis

Suaka Margasatwa Dolok Surungan memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem regional:

  • Daerah Tangkapan Air: Kawasan ini merupakan hulu DAS Asahan-Barumun dan catchment area Danau Toba, mendukung ketersediaan air bagi masyarakat sekitar dan ekosistem Danau Toba (nusapedia.com, 2025).

  • Konservasi Keanekaragaman Hayati: Melindungi spesies langka dan endemik, mencegah kepunahan, dan menjaga keseimbangan ekosistem.

  • Penelitian dan Pendidikan: Menyediakan laboratorium alami untuk studi ekologi, biologi, dan konservasi (detik.com, 2023).

Manfaat Sosial

  • Warisan Budaya: Kawasan ini menyimpan peninggalan sejarah seperti patung-prasasti dan gua-gua yang memiliki nilai budaya bagi masyarakat lokal (nusapedia.com, 2025).

  • Pariwisata dan Edukasi: Potensi pengembangan ekowisata berbasis konservasi dapat meningkatkan ekonomi lokal tanpa merusak ekosistem.

  • Kesejahteraan Masyarakat: Program konservasi seperti Kampanye Bangga melibatkan masyarakat untuk mendukung pelestarian sekaligus memberikan manfaat ekonomi (yumpu.com, 2025).

5. Tantangan Konservasi

Perambahan dan Konversi Lahan

Salah satu ancaman utama adalah perambahan hutan untuk kebun kelapa sawit dan karet, didorong oleh tingginya nilai komoditas ini. Studi oleh Aditya Sinaga (2011) menggunakan citra Landsat ETM (2003, 2006, 2009) menunjukkan perubahan penutupan lahan yang signifikan akibat aktivitas ilegal (123dok.com, 2021). Perambahan ini menyebabkan:

  • Penurunan keanekaragaman hayati.

  • Gangguan terhadap habitat satwa seperti tapir dan harimau Sumatera.

  • Ancaman banjir, longsor, dan penurunan kualitas air di DAS Asahan-Barumun dan Danau Toba (nusapedia.com, 2025).

Keterbatasan Pengelolaan

  • Jumlah Petugas: Terbatasnya jumlah personel BBKSDA Sumatera Utara menghambat pengawasan dan penegakan hukum (dendodaus.blogspot.com, 2010).

  • Sarana dan Prasarana: Kurangnya fasilitas seperti pos jaga, kendaraan patroli, dan teknologi pemantauan modern membuat kawasan rentan terhadap aktivitas ilegal (nusapedia.com, 2025).

  • Tata Batas: Batas kawasan belum sepenuhnya jelas, memicu konflik dengan masyarakat sekitar (yumpu.com, 2025).

Konflik dengan Masyarakat Adat

Kontroversi Penetapan Kawasan

Masyarakat adat Sigalapang, yang telah mendiami wilayah ini selama ratusan tahun, mengklaim bahwa penetapan Suaka Margasatwa Dolok Surungan pada 1974 tidak melibatkan konsultasi dengan mereka. Selama rezim Orde Baru, intimidasi oleh aparat keamanan mencegah protes, dan masyarakat dilarang berladang, menyebabkan krisis ekonomi (tanobatak.aman.or.id, 2018). Pada Februari 2016, 10 anggota masyarakat adat Sigalapang ditangkap dan dipenjara selama 8 bulan atas tuduhan merusak kawasan, meskipun mereka mengklaim hanya mengelola tanah adat untuk bertani padi, jagung, dan jengkol (tanobatak.aman.or.id, 2018).

Kontroversi Nama “Dolok Surungan”

Nama “Dolok Surungan” (berarti “Bukit Besar”) menuai protes dari masyarakat adat Sigalapang, terutama penganut Parmalim, yang menganggap nama ini sakral dan penggunaannya oleh pihak kehutanan dianggap tidak menghormati nilai budaya mereka. Masyarakat juga menyatakan bahwa mereka tidak mengenal lokasi spesifik bernama Dolok Surungan, sehingga nama ini dianggap asing dan tidak mencerminkan identitas wilayah adat mereka (tanobatak.aman.or.id, 2018).

Dampak Sosial

Konflik ini telah menyebabkan penggusuran bertahap masyarakat adat dari tanah leluhur mereka, diperparah oleh masuknya perusahaan kayu dan perkebunan kelapa sawit seperti PT. Ganda Sormin. Masyarakat adat merasa kehilangan sumber kehidupan dan identitas budaya mereka (tanobatak.aman.or.id, 2018).

6. Upaya Pelestarian

Program Konservasi

BBKSDA Sumatera Utara telah meluncurkan beberapa inisiatif untuk menjaga kelestarian Suaka Margasatwa Dolok Surungan:

  • Kampanye Bangga: Program ini melibatkan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi. Kegiatan meliputi edukasi, penanaman pohon, dan patroli bersama (yumpu.com, 2025).

  • Pemasangan Camera Trap: Pada 2018, tim patroli dari Resort Konservasi Wilayah SM Dolok Surungan I, bekerja sama dengan TIME (Tindakan Investigasi Memantau Ekosistem), berhasil merekam keberadaan harimau Sumatera menggunakan camera trap, menunjukkan keberhasilan pemantauan satwa (ksdae.menlhk.go.id, 2018).

  • Rehabilitasi Lahan: Upaya rehabilitasi dilakukan untuk memulihkan lahan yang terdegradasi akibat perambahan, termasuk penanaman kembali spesies asli (nusapedia.com, 2025).

Usulan Stasiun Rehabilitasi Satwa

BBKSDA Sumatera Utara mengusulkan Dolok Surungan sebagai Stasiun Rehabilitasi Satwa untuk mendukung pemulihan satwa liar yang terluka atau disita dari perdagangan ilegal. Ini akan memperkuat peran kawasan dalam konservasi ex-situ (nusapedia.com, 2025).

Keterlibatan Masyarakat

Untuk mengurangi konflik, BBKSDA melibatkan masyarakat dalam kegiatan konservasi, seperti pelatihan ekowisata dan pemberdayaan ekonomi melalui produk non-kayu (misalnya madu hutan atau kerajinan). Program ini bertujuan menciptakan keseimbangan antara pelestarian dan kesejahteraan masyarakat (yumpu.com, 2025).

7. Potensi Pengembangan

Meskipun menghadapi tantangan, Suaka Margasatwa Dolok Surungan memiliki prospek besar sebagai kawasan konservasi:

  • Ekowisata: Keindahan hutan hujan tropis, keanekaragaman satwa, dan peninggalan sejarah seperti gua dan prasasti dapat dikembangkan sebagai destinasi ekowisata berbasis konservasi (nusapedia.com, 2025).

  • Penelitian Ilmiah: Kawasan ini dapat menjadi pusat studi keanekaragaman hayati, ekologi, dan konservasi, menarik peneliti dari dalam dan luar negeri (detik.com, 2023).

  • Pendidikan Lingkungan: Program edukasi untuk sekolah dan komunitas dapat meningkatkan kesadaran generasi muda tentang pentingnya pelestarian (liputan6.com, 2022).

  • Konservasi Satwa Langka: Dengan pengelolaan yang lebih baik, kawasan ini dapat menjadi benteng terakhir bagi tapir dan harimau Sumatera (ksdae.menlhk.go.id, 2018).

8. Perspektif Masyarakat Adat

Masyarakat adat Sigalapang menegaskan bahwa mereka telah mengelola wilayah ini secara berkelanjutan selama berabad-abad sebelum penetapan suaka margasatwa. Mereka memandang kawasan ini sebagai bagian integral dari identitas budaya dan sumber kehidupan, bukan sekadar zona konservasi. Ketidakjelasan batas kawasan dan kurangnya dialog dengan pemerintah telah memperburuk konflik. Seorang keturunan marga Hutagaol menyatakan bahwa nenek moyang mereka, yang telah tinggal sejak abad ke-18, bahkan berjuang bersama Sisingamangaraja untuk mempertahankan tanah mereka dari penjajah Belanda (dendodaus.blogspot.com, 2010).

Untuk menyelesaikan konflik, diperlukan pendekatan berbasis hak adat, termasuk:

  • Pengakuan resmi atas tanah adat Sigalapang.

  • Dialog partisipatif untuk menentukan batas kawasan.

  • Integrasi pengetahuan lokal dalam strategi konservasi (tanobatak.aman.or.id, 2018).

9. Relevansi pada Mei 2025

Hingga Mei 2025, Suaka Margasatwa Dolok Surungan tetap menjadi fokus konservasi di Sumatera Utara, meskipun tantangan seperti perambahan dan konflik adat belum sepenuhnya terselesaikan. Postingan di platform X oleh @EcoWarriorID pada 15 Februari 2025 menyuarakan urgensi perlindungan Dolok Surungan dengan tagar #SaveDolokSurungan, menyoroti ancaman perkebunan kelapa sawit (@EcoWarriorID, 2025). Sementara itu, BBKSDA Sumatera Utara terus mempromosikan Kampanye Bangga melalui media sosial, mengajak masyarakat untuk “Lestarikan Dolok Surungan, Dongan!” (yumpu.com, 2025).

Pada 2024, laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat adanya peningkatan patroli dan pemasangan camera trap untuk memantau satwa, dengan harapan dapat mendokumentasikan lebih banyak spesies langka (ksdae.menlhk.go.id, 2024). Namun, tanpa penyelesaian konflik adat dan peningkatan sumber daya pengelolaan, kawasan ini tetap rentan.

10. Kesimpulan

Suaka Margasatwa Dolok Surungan adalah permata konservasi di Sumatera Utara, menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa dan memainkan peran kunci dalam menjaga ekosistem Danau Toba dan DAS Asahan-Barumun. Sejak ditetapkan pada 1924 dan resmi menjadi suaka margasatwa pada 1974, kawasan ini telah menjadi rumah bagi tapir, harimau Sumatera, dan berbagai spesies flora dan fauna lainnya. Namun, tantangan seperti perambahan hutan, keterbatasan pengelolaan, dan konflik dengan masyarakat adat Sigalapang mengancam kelestariannya. Upaya konservasi seperti Kampanye Bangga, pemasangan camera trap, dan usulan Stasiun Rehabilitasi Satwa menunjukkan komitmen untuk melindungi kawasan ini, tetapi keberhasilan jangka panjang membutuhkan pendekatan yang inklusif, melibatkan masyarakat adat, dan didukung oleh sumber daya yang memadai. Dengan potensi ekowisata, penelitian, dan pendidikan, Dolok Surungan dapat menjadi model konservasi yang menyeimbangkan pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat, menjadikannya warisan yang membanggakan bagi Indonesia.

Sumber:

BACA JUGA: Detail Planet Mars: Karakteristik, Struktur, dan Misteri Terkecil di Tata Surya

BACA JUGA: Cerita Rakyat Tiongkok: Warisan Budaya, Makna, dan Pengaruhnya

BACA JUGA: Perbedaan Perkembangan Media Sosial Tahun 2020-2025: Analisis Lengkap Secara Mendalam