Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut: Benteng Konservasi Mangrove Sumatera Utara

shercat.com, 23 MEI 2025 Penulis: Riyan Wicaksono Editor: Muhammad Kadafi Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut

Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading Langkat Timur Laut adalah kawasan konservasi alam yang terletak di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kawasan ini merupakan salah satu suaka margasatwa penting di Indonesia yang didominasi oleh ekosistem mangrove, menjadikannya satu-satunya kawasan konservasi mangrove di Sumatera Utara. Ditunjuk sebagai suaka margasatwa pada tahun 1980, kawasan ini memiliki peran krusial dalam melindungi keanekaragaman hayati, khususnya flora dan fauna khas estuaria, serta mendukung kehidupan masyarakat pesisir melalui fungsi ekosistemnya. Meskipun menghadapi tantangan seperti perambahan hutan dan alih fungsi lahan, upaya konservasi terus dilakukan melalui kemitraan dengan masyarakat dan penegakan hukum. Artikel ini akan menguraikan secara mendalam sejarah, karakteristik, potensi, permasalahan, dan upaya pelestarian Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut berdasarkan sumber-sumber terpercaya.

Sejarah Penetapan  Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut

Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut memiliki akar sejarah yang panjang, berawal dari masa kolonial Belanda. Berikut adalah kronologi penetapan kawasan ini:

  • Masa Kolonial Belanda:

    • Hutan di wilayah Langkat Timur Laut ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Kerajaan Negeri Deli melalui Zelfbestuur Besluit (ZB) Nomor 148/PK pada 6 Agustus 1932, yang disahkan oleh Besluit Seripadoeka Toean Besar Goeverneur dari Pesisir Timur Pulau Pertja pada 24 September 1932, dengan luas 9.520 hektar.

    • Hutan di Karang Gading ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui ZB Nomor 138 pada 8 Agustus 1935, dengan luas 6.245 hektar.

    • Penetapan ini bertujuan untuk melindungi ekosistem mangrove dan sumber daya hayati di wilayah tersebut, yang pada masa itu sudah diakui memiliki nilai ekologis tinggi.

  • Penetapan sebagai Suaka Margasatwa:

    • Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 November 1980, kedua kawasan tersebut (Langkat Timur Laut dan Karang Gading) secara resmi ditunjuk sebagai Suaka Alam yang kemudian dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa.

    • Total luas kawasan yang ditetapkan adalah 15.765 hektar, meskipun beberapa sumber terbaru menyebutkan luas sekitar 14.827 hektar setelah penyesuaian batas.

  • Pengelolaan Modern:

    • Pengelolaan kawasan ini berada di bawah Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, Bidang KSDA Wilayah I Kabanjahe, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, yang merupakan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lokasi dan Luas  Kejati Sumut Periksa 3 Pejabat BPN Dalam Dugaan Korupsi Alih Fungsi Kawasan Suaka  Margasatwa Karang Gading | tempo.co

Secara administratif, Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut terletak di empat kecamatan di dua kabupaten:

  • Kabupaten Deli Serdang: Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli.

  • Kabupaten Langkat: Kecamatan Secanggang dan Kecamatan Tanjung Pura.

Secara geografis, kawasan ini terbentang pada koordinat:

  • Bujur Timur: 98°30’ – 98°42’ BT

  • Lintang Utara: 3°51’30” – 3°59’45” LU

Luas total kawasan adalah sekitar 14.827–15.765 hektar, dengan sebagian besar (70% atau sekitar 11.500 hektar) didominasi oleh ekosistem hutan mangrove, dan sebagian kecil terdiri dari hutan cemara dan vegetasi lainnya. Namun, akibat perambahan dan alih fungsi lahan, luas mangrove yang tersisa diperkirakan telah menyusut hingga sekitar 3.000 hektar, dengan sebagian kawasan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, tambak udang, tambak ikan, lahan pertanian, dan pemukiman masyarakat.

Ekosistem dan Vegetasi Kawasan Konservasi Mangrove di Langkat jadi Kebun Sawit, Ada Permainan  Mafia Tanah?

Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut memiliki ekosistem estuaria yang kaya, dengan tiga tipe habitat utama:

  1. Hutan Mangrove: Menempati sekitar 11.500 hektar atau 70% dari luas kawasan, hutan mangrove adalah ekosistem dominan. Jenis mangrove yang umum meliputi Rhizophora spp., Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Bruguiera spp. Ekosistem ini memiliki produktivitas energi tinggi, mendukung keanekaragaman hayati yang tinggi, dan berperan sebagai penyangga pesisir terhadap abrasi dan badai.

  2. Hutan Pantai: Terdapat di wilayah yang lebih kering, dengan vegetasi seperti Terminalia catappa (ketapang), Cocos nucifera (kelapa), dan Acacia auriculiformis (akasia).

  3. Hutan Nipah: Didominasi oleh Nypa fruticans, yang tumbuh di area estuaria dengan salinitas lebih rendah.

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat sedikitnya 37 spesies tumbuhan dari 21 famili di kawasan ini, dengan hutan mangrove sebagai habitat paling stabil dan produktif. Kondisi fisik perairan, seperti penetrasi cahaya, suhu, pH, salinitas, dan debit air, masih dalam rentang normal, mendukung pertumbuhan plankton dan kehidupan organisme lainnya.

Flora dan Fauna Gambar 4. Hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading (Kabupaten... |  Download Scientific Diagram

Flora

Vegetasi di Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut didominasi oleh spesies mangrove seperti:

  • Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata: Mangrove sejati yang kuat terhadap salinitas tinggi.

  • Avicennia marina: Tumbuh di area dengan paparan lumpur yang lebih tinggi.

  • Sonneratia alba: Ditemukan di zona yang lebih dekat dengan laut.

  • Nypa fruticans: Nipah, yang mendominasi hutan nipah di area estuaria.

Selain itu, terdapat vegetasi pantai seperti ketapang, kelapa, dan akasia, serta sedikit vegetasi cemara (Casuarina spp.) di area yang lebih kering.

Fauna

Kawasan ini kaya akan keanekaragaman fauna, dengan spesies yang mencakup mamalia, aves, reptil, ikan, moluska, dan krustasea. Berikut adalah rincian fauna yang tercatat:

  • Mamalia: Terdapat 12 jenis mamalia, termasuk monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), yang sering dilepasliarkan kembali ke kawasan ini setelah rehabilitasi.

  • Aves: Terdapat 44 jenis burung, dengan 13 di antaranya adalah burung migran seperti pecuk ular, roko-roko, bluwok, kuntul, dan cangak. Burung migran ini menjadikan kawasan ini sebagai tempat singgah penting selama migrasi.

  • Reptil: Terdapat 13 jenis reptil, termasuk biawak dan ular yang menghuni ekosistem mangrove dan pantai.

  • Ikan, Moluska, dan Krustasea: Terdapat sedikitnya 52 jenis ikan, moluska, dan krustasea, termasuk kepiting bakau (Scylla spp.), yang memiliki nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat lokal.

Keanekaragaman fauna ini menjadikan kawasan ini penting untuk penelitian, pengamatan burung migran, dan pelestarian spesies yang terancam.

Potensi Wisata

Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut memiliki potensi wisata yang signifikan, meskipun belum sepenuhnya dikembangkan karena keterbatasan sarana dan prasarana. Potensi wisata utama meliputi:

  • Wisata Hutan Mangrove: Pengunjung dapat menjelajahi ekosistem mangrove melalui jalur papan atau perahu, menikmati keindahan hutan bakau dan kehidupan satwa liar.

  • Pengamatan Burung Migran: Kawasan ini adalah surga bagi pengamat burung, dengan 13 spesies burung migran yang singgah setiap tahun. Aktivitas ini dapat menarik wisatawan minat khusus.

  • Edukasi Konservasi: Kawasan ini dapat menjadi pusat pendidikan konservasi, mirip dengan Suaka Margasatwa Muara Angke di Jakarta, dengan kegiatan seperti tur edukasi dan pelepasliaran satwa.

  • Ekowisata Berbasis Masyarakat: Kemitraan dengan masyarakat lokal dapat mengembangkan wisata berbasis budaya Melayu pesisir, seperti tur kuliner atau kerajinan berbasis mangrove.

Namun, pengembangan wisata terkendala oleh aksesibilitas yang terbatas dan ancaman perambahan yang mengurangi daya tarik alami kawasan.

Permasalahan dan Tantangan

Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut menghadapi sejumlah tantangan serius, yang berdampak pada keberlanjutan ekosistemnya:

  • Perambahan dan Alih Fungsi Lahan: Sekitar 3.385 hektar kawasan telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit (210 hektar dengan 28.000 pohon sawit), tambak udang, tambak ikan, lahan pertanian, dan pemukiman masyarakat. Perambahan ini diduga melibatkan mafia tanah, dengan temuan 60 sertifikat hak milik (SHM) atas nama perorangan di kawasan yang seharusnya milik negara.

  • Konflik Tenurial: Konflik antara masyarakat penggarap dan pihak pengelola telah berlangsung sejak 1990-an, terutama di Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak. Konflik ini mencakup sengketa lahan dan penguasaan ilegal, yang memicu saling lapor ke polisi.

  • Kerusakan Ekosistem: Kerusakan hutan mangrove mengurangi fungsi ekosistem sebagai penyangga pesisir, meningkatkan risiko abrasi, banjir, dan hilangnya habitat satwa liar. Masyarakat lokal juga menanggung kerugian akibat menurunnya hasil perikanan.

  • Keterbatasan Hukum dan Penegakan: Penelitian antara 2004–2009 menunjukkan bahwa hanya delapan kasus perambahan hutan yang dilaporkan, dan hanya satu kasus yang sampai ke pengadilan, dengan vonis bebas. Hal ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum karena faktor budaya hukum paternalistik masyarakat lokal yang mudah dipengaruhi oleh kekuatan politik dan ekonomi.

  • Kurangnya Sarana dan Prasarana: Fasilitas seperti jalan papan, pos jaga, atau pusat informasi masih terbatas, menghambat pengawasan dan pengembangan wisata.

Upaya Pengelolaan dan Pelestarian

BBKSDA Sumatera Utara dan pihak terkait telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan dan melestarikan kawasan ini:

  • Kemitraan Konservasi:

    • Pada November 2021, BBKSDA Sumatera Utara menginisiasi skema kemitraan konservasi dengan masyarakat di Desa Paluh Kurau dan Karang Gading, melibatkan dua kelompok tani hutan (KTH) untuk pemulihan ekosistem melalui penanaman tanaman asli dan tanaman pangan.

    • Pemberian hak pengelolaan seluas 500 hektar dari total 9.000 hektar kepada masyarakat untuk rehabilitasi mangrove, bekerja sama dengan organisasi seperti Blue Forests.

  • Penegakan Hukum:

    • Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi alih fungsi lahan, dengan fokus pada perkebunan sawit ilegal dan penerbitan SHM yang tidak sah.

    • Patroli rutin dan pemetaan area terbuka untuk mencegah perambahan lebih lanjut.

  • Pemberdayaan Masyarakat:

    • Program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar melalui bantuan usaha produktif, seperti budidaya perikanan berkelanjutan atau kerajinan berbasis mangrove.

    • Pembentukan kelompok masyarakat mitra polhut untuk membantu pengamanan kawasan.

  • Deklarasi Berbasis Adat dan Agama:

    • Pada Oktober 2023, deklarasi bersama antara pemerintah, masyarakat adat Melayu, dan tokoh agama Islam (seperti Sultan Langkat dan Ustadz K.H. Thamrin Munthe) dilakukan untuk memperkuat komitmen pelestarian kawasan. Deklarasi ini menekankan bahwa kawasan ini adalah “anugerah Allah” yang harus dijaga sesuai prinsip konservasi.

  • Rehabilitasi dan Pelepasliaran Satwa:

    • Pada Juli 2023, BBKSDA Sumatera Utara melepasliarkan 12 ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ke kawasan ini setelah direhabilitasi di Macaca Rescue Centre Batang Toru dan Pusat Penyelamatan Satwa Sibolangit.

    • Program ini bekerja sama dengan Yayasan Scorpion Indonesia untuk mendukung pemulihan populasi satwa liar.

Budaya dan Masyarakat Sekitar

Kawasan ini dikelilingi oleh 14 desa dengan mayoritas penduduk berbudaya Melayu pesisir dan beragama Islam (sekitar 90%). Budaya Melayu sangat memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap pengelolaan kawasan, termasuk nilai-nilai adat seperti larangan melaut pada hari Jumat karena dianggap membawa sial. Nilai-nilai agama dan adat ini telah diintegrasikan dalam upaya konservasi, seperti melalui deklarasi berbasis syariat Islam untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Namun, budaya paternalistik masyarakat lokal juga menjadi tantangan, karena mereka mudah dipengaruhi oleh oknum atau kekuatan ekonomi yang mendorong perambahan.

Kesimpulan

Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut adalah kawasan konservasi yang vital bagi pelestarian ekosistem mangrove dan keanekaragaman hayati di Sumatera Utara. Dengan luas sekitar 14.827–15.765 hektar, kawasan ini mendukung berbagai spesies flora dan fauna, termasuk 37 spesies tumbuhan, 12 jenis mamalia, 44 jenis burung (13 di antaranya migran), dan berbagai reptil, ikan, serta krustasea. Potensi wisata seperti pengamatan burung migran dan ekowisata mangrove menawarkan peluang untuk pendidikan dan ekonomi lokal. Namun, tantangan seperti perambahan hutan, alih fungsi lahan, dan konflik tenurial mengancam keberlanjutan kawasan ini. Melalui kemitraan konservasi, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat berbasis adat dan agama, BBKSDA Sumatera Utara terus berupaya menjaga kelestarian kawasan ini. Dengan dukungan semua pihak, Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut dapat tetap menjadi benteng ekologi dan warisan alam bagi generasi mendatang.

BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia BACA JUGA: Dampak Positif dan Negatif Media Sosial di Era 2025: Peluang dan Tantangan dalam Kehidupan Digital