shercat.com, 02 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan, terletak di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan, adalah kawasan konservasi yang memiliki peran penting dalam pelestarian gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan ekosistem gambut yang unik. Dengan luas sekitar 88.148,05 hektare, kawasan ini tidak hanya menjadi rumah bagi berbagai satwa endemik, tetapi juga menjadi pusat pelatihan gajah (PLG) yang mendukung upaya mitigasi konflik antara manusia dan gajah. Artikel ini menyajikan informasi mendetail, akurat, dan terpercaya tentang SM Padang Sugihan, mencakup sejarah, karakteristik ekologi, fauna yang dilindungi, tantangan konservasi, dan potensi ekowisata, berdasarkan sumber seperti ResearchGate, Mongabay, Kompas, Republika, dan laporan resmi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan.
1. Latar Belakang dan Status Hukum
SM Padang Sugihan ditetapkan sebagai suaka margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 76/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001, dengan luas awal 86.932 hektare. Kemudian, luas kawasan diperbarui menjadi 88.148,05 hektare melalui SK Penetapan Menteri Kehutanan Nomor SK.2858/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 16 April 2014 dan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.866/Menhut/II/2014 tanggal 29 September 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Sumatera Selatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa, yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan pembinaan terhadap habitatnya. SM Padang Sugihan memenuhi kriteria ini karena menjadi habitat alami bagi gajah Sumatera, spesies prioritas yang terancam punah, serta berbagai satwa lain seperti beruang madu, rusa sambar, dan sejumlah burung endemik.
Secara administratif, kawasan ini terletak di dua kabupaten: Banyuasin (sekitar dua per tiga luas kawasan) dan OKI (sepertiga luas kawasan). Secara geografis, SM Padang Sugihan berada pada koordinat 105°04’01″–105°11’16” Bujur Timur dan 3°04’34″–2°45’18” Lintang Selatan. Akses ke kawasan dapat dilakukan melalui jalur darat (2–3 jam dari Palembang) atau jalur sungai (1,5 jam menggunakan speedboat melalui Sungai Musi).
2. Karakteristik Ekologi 
SM Padang Sugihan adalah ekosistem rawa gambut datar, yang merupakan salah satu tipe lahan basah terpenting di Sumatera Selatan. Kawasan ini diapit oleh Sungai Air Padang, Sungai Air Sugihan, dan kanal-kanal primer, yang membentuk lanskap hidrologis khas. Vegetasi di kawasan ini dapat dikelompokkan menjadi lima tipe utama:
-
Vegetasi Hutan Rawa Sekunder: Terletak 50–500 meter sepanjang tepi sungai dan kanal, didominasi oleh spesies seperti Alstonia sp., Eugenia sp., Ficus sp., Macaranga sp., Dillenia sp., Oncosperma sp., Mangifera sp., Gluta sp., Corypha sp., Sonneratia sp., Nypa fructicans, dan Scleria purpurascens.
-
Vegetasi Rawa Berumput: Membentang 0,5–2 km dari tepi sungai, dengan lapisan lumpur setebal ±30 cm. Didominasi oleh Melaleuca leucadendron (gelam) dan rumput rawa seperti Panicum repens (belidang), yang menjadi pakan alami gajah.
-
Hutan Rawa Primer: Terdapat di bagian tengah kawasan, dengan vegetasi asli yang relatif utuh.
-
Vegetasi Rawa Terbuka: Area yang tergenang air secara musiman, mendukung tumbuhan air seperti Echinochioa colonum dan Panicum astagninum.
-
Vegetasi Terganggu: Area yang terkena dampak kebakaran atau pembalakan, dengan tutupan lahan yang lebih terbuka.
Kawasan ini memiliki tingkat keasaman tanah dan air yang tinggi karena sifat gambutnya, sehingga memerlukan perlakuan khusus untuk revegetasi. Program pengujian pH air dan tanah dilakukan pada 2019 oleh BKSDA Sumsel untuk menentukan jenis tanaman yang sesuai, seperti meranti, sungkai, belangeran, dan jelutung.
3. Keanekaragaman Hayati 
SM Padang Sugihan adalah rumah bagi berbagai spesies fauna endemik dan dilindungi, dengan gajah Sumatera sebagai spesies kunci. Berikut adalah beberapa fauna yang teridentifikasi:
-
Mamalia: Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa sambar (Rusa unicolor), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung kelabu (Trachypithecus cristatus), berang-berang (Lutra sumatrana), napu (Tragulus napu), babi hutan (Sus scrofa), dan kukang Sumatera (Nycticebus coucang).
-
Burung: Elang bido (Spilornis cheela), elang paria (Milvus migrans), elang brontok (Spizaetus cirrhatus), elang tikus (Elanus caeruleus), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), kerak kerbau (Acridotheres tristis), betet ekor panjang (Psittacula longicauda), rangkong, dan raja udang.
-
Reptil dan Amfibi: Spesies tertentu belum didokumentasikan secara lengkap, tetapi keberadaan rawa mendukung kehidupan herpetofauna.
Gajah Sumatera, yang terancam punah berdasarkan IUCN Red List, menjadi fokus utama konservasi. Populasi gajah jinak di Pusat Latihan Gajah (PLG) Jalur 21 mencapai 28–31 ekor (data 2021–2022), dengan komposisi bervariasi antara jantan dan betina dewasa, remaja, dan anak. Selain itu, sekitar 50 gajah liar masih hidup di luar kawasan, dengan pemantauan rutin untuk mengurangi konflik dengan manusia.
4. Pusat Latihan Gajah (PLG) Jalur 21
PLG Jalur 21, yang berdiri sejak 2006, adalah fasilitas unggulan di SM Padang Sugihan untuk pelatihan dan pengelolaan gajah Sumatera. Berlokasi di blok pemanfaatan seluas 7.349,60 hektare, PLG menyediakan ruang untuk pengembalaan semi-liar dan menjadi suaka bagi gajah yang terlibat konflik dengan manusia.
4.1. Populasi dan Kelahiran Gajah
PLG telah mencatat keberhasilan reproduksi yang signifikan, dengan 11 kelahiran anak gajah dalam 10 tahun terakhir (2012–2022). Beberapa kelahiran penting meliputi:
-
18 Juni 2021: Anak gajah jantan lahir dari induk Sabana, dengan berat 82 kg dan ukuran tubuh normal (panjang badan 114 cm, tinggi bahu 75 cm). Bayi ini diberi antiseptik untuk mencegah infeksi tali pusar dan dimonitor oleh tim medis.
-
13 Juli 2022: Anak gajah betina lahir dari induk Elsa (24 tahun) dan jantan Gapula (31 tahun), dengan tinggi 77 cm dan struktur tubuh sempurna. Kelahiran ini bertepatan menjelang Hari Gajah Sedunia (12 Agustus).
Kelahiran ini menunjukkan bahwa habitat SM Padang Sugihan mendukung reproduksi alami, dengan ketersediaan pakan seperti Echinochioa colonum, Panicum repens, Melaleuca leucadendron, dan Bambusa vulgaris, serta minimnya konflik dengan manusia.
4.2. Pelatihan dan Peran Gajah
Gajah di PLG dilatih oleh 40 pawang (mahout) untuk berbagai aktivitas, seperti atraksi sepak bola, basket, joget dangdut, dan mengalungkan bunga, meskipun belum mampu melukis seperti gajah di Way Kambas, Lampung. Pelatihan ini bertujuan meminimalkan konflik manusia-gajah dengan menjadikan gajah jinak sebagai duta konservasi atau untuk keperluan wisata edukasi. Sejak 2006, PLG tidak lagi menangkap gajah liar; gajah liar yang masuk permukiman diusir kembali ke habitatnya menggunakan gajah pikat.
5. Tantangan Konservasi 
SM Padang Sugihan menghadapi sejumlah ancaman yang mengganggu kelestarian ekosistem dan satwanya, sebagaimana diidentifikasi dalam penelitian spasial oleh Kunarso et al. (2019):
-
Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla): Kebakaran berulang, terutama pada musim kemarau, telah merusak 15% kawasan (13.219,60 ha) secara berat, 36% (31.867,20 ha) secara sedang, dan 49% (42.555,91 ha) secara ringan. Karhutla 2015 menghanguskan 837.520 hektare di Sumatera Selatan, termasuk sebagian SM Padang Sugihan. Kebakaran ini menyebabkan hilangnya vegetasi asli dan masa gambut, mengancam habitat gajah.
-
Pembalakan Liar dan Penguasaan Lahan: Masyarakat di lima desa sekitar (Perigi Talang Nangka, Air Rumbai, Rambai, Bukit Batu, Riding) memanfaatkan lahan gambut untuk sonor (penanaman padi dengan membakar lahan) dan mencari kayu, meskipun kawasan ini berstatus dilindungi. Sekitar 20.000 hektare lahan gambut diakses secara ilegal.
-
Pembukaan Kanal Drainase: Kanal-kanal yang dibuat untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di sekitar kawasan mengganggu hidrologi gambut, menyebabkan kekeringan dan meningkatkan risiko kebakaran.
-
Konflik Sosial-Ekonomi: Program cetak sawah di Desa Perigi Talang Nangka (862 ha) gagal karena lahan tergenang air sepanjang tahun akibat kurangnya irigasi yang memadai. Hal ini mendorong masyarakat kembali ke praktik sonor, yang memperparah kerusakan gambut.
Upaya mitigasi meliputi revegetasi sejak 2016 dengan tanaman gambut seperti meranti dan jelutung, pengujian pH untuk menentukan tanaman yang sesuai, dan patroli menggunakan teknologi SMART Patrol serta camera trap untuk memantau gajah liar. Namun, tantangan sosial-ekonomi memerlukan solusi terpadu, seperti program restorasi yang melibatkan masyarakat lokal.
6. Potensi Ekowisata
SM Padang Sugihan memiliki potensi besar sebagai destinasi ekowisata berbasis konservasi, didukung oleh keberadaan PLG dan keanekaragaman hayati. Beberapa aspek yang mendukung:
-
Wisata Gajah: Pengunjung dapat berinteraksi dengan gajah jinak, menaiki gajah, atau menyaksikan atraksi. Infrastruktur seperti tangga dan toilet umum telah tersedia, meskipun masih terbatas dibandingkan Way Kambas.
-
Wisata Air: Sungai Musi dan kanal-kanal menawarkan pengalaman perjalanan dengan speedboat, dengan pemandangan rawa gambut yang eksotis.
-
Wisata Edukasi: Keanekaragaman flora dan fauna, termasuk pelepasliaran satwa seperti elang bido dan kukang Sumatera, dapat menjadi daya tarik bagi peneliti dan pelajar.
-
Potensi Budaya: Interaksi dengan masyarakat lokal di desa-desa sekitar, seperti Desa Sebokor, dapat memperkaya pengalaman wisata.
Pemerintah setempat, melalui BKSDA Sumsel, berupaya mempromosikan SM Padang Sugihan sebagai destinasi ekowisata unggulan. Namun, pengembangan ini memerlukan peningkatan infrastruktur, sosialisasi yang lebih luas, dan pengelolaan yang tidak mengganggu fungsi konservasi.
7. Upaya Konservasi dan Masa Depan
BKSDA Sumsel dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah meluncurkan sejumlah inisiatif untuk menjaga kelestarian SM Padang Sugihan:
-
Restorasi Ekosistem: Penanaman kembali vegetasi gambut sejak 2020 untuk memulihkan area yang terbakar pada 2019. Program ini didukung oleh Badan Restorasi Gambut (BRG).
-
Pemantauan Satwa: Penggunaan camera trap pada jalur jelajah gajah untuk menghitung populasi dan memantau pergerakan, dengan analisis Capture Recapture.
-
Pengelolaan Konflik: PLG Jalur 21 berfungsi sebagai pusat rehabilitasi gajah yang terlibat konflik, dengan pendekatan semi-liar untuk menjaga kesejahteraan satwa.
-
Pemberdayaan Masyarakat: Melibatkan masyarakat lokal dalam patroli dan kegiatan ekowisata untuk mengurangi ketergantungan pada praktik sonor.
Masa depan SM Padang Sugihan bergantung pada sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Adio Syafri dari Hutan Kita Institute menekankan bahwa kawasan ini adalah “ginjal” ekosistem gambut, yang jika rusak akan mengganggu hidrologi dan meningkatkan risiko kebakaran. Oleh karena itu, pendekatan restorasi harus mengatasi isu sosial, ekonomi, dan budaya secara holistik.
8. Kesimpulan
Suaka Margasatwa Padang Sugihan adalah aset konservasi nasional yang vital bagi pelestarian gajah Sumatera dan ekosistem gambut. Dengan luas 88.148,05 hektare, kawasan ini mendukung keanekaragaman hayati yang kaya, termasuk rusa sambar, beruang madu, dan berbagai burung endemik. Pusat Latihan Gajah Jalur 21 telah membuktikan keberhasilan konservasi melalui kelahiran 11 anak gajah dalam satu dekade, sementara potensi ekowisata menawarkan peluang untuk pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Namun, ancaman seperti kebakaran, pembalakan liar, dan konflik lahan memerlukan solusi terpadu, termasuk revegetasi, pemantauan satwa, dan keterlibatan komunitas. Dengan pengelolaan yang berkelanjutan, SM Padang Sugihan dapat terus menjadi benteng konservasi bagi satwa langka Indonesia dan warisan alam yang tak ternilai.
BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya
BACA JUGA: Letak Geografis dan Fisik Alami Negara Seychelles
BACA JUGA: Kampanye Publik: Strategi, Implementasi, dan Dampak dalam Mendorong Perubahan Sosial