Yogyakarta kembali menjadi sorotan nasional dengan pencapaian luar biasa dalam rehabilitasi ekosistem terancam. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni secara resmi meninjau Suaka Margasatwa (SM) Paliyan di Gunungkidul pada 6 Mei 2025, menandai keberhasilan besar dalam upaya pemulihan kawasan yang sempat rusak parah pasca reformasi 1998. Data terbaru dari Kementerian Kehutanan menunjukkan transformasi dramatis dari kawasan gundul menjadi habitat kaya biodiversitas yang bikin kita semua bangga sebagai Gen Z Indonesia!
Daftar Isi Artikel Yogyakarta Tampilkan Keberhasilan Rehabilitasi Ekosistem Genting
- Transformasi Dramatis: Dari 20 ke 41 Jenis Burung di SM Paliyan
- Model Kolaborasi Triple Helix yang Terbukti Efektif
- Rehabilitasi Pantai Selatan: 2.500 Cemara Laut untuk Masa Depan
- Data Ekosistem Karst: Tantangan dan Solusi Inovatif
- Program RESPON: Rekayasa Ekosistem Tingkat Nasional
- Dampak Ekonomi dan Sosial bagi Masyarakat Lokal
- Pembelajaran untuk Generasi Muda: Replikasi ke Seluruh Indonesia
Transformasi Dramatis: Dari 20 ke 41 Jenis Burung di SM Paliyan

Burung sebagai indikator biologis menunjukkan keberhasilan spektakuler Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting. Data resmi Kementerian Kehutanan mencatat pada awal pelaksanaan pemulihan ekosistem tahun 2006, hanya ditemukan 20 jenis burung di SM Paliyan. Saat ini, angka tersebut melonjak menjadi 41 jenis burung dengan 5 jenis di antaranya merupakan satwa dilindungi. Ini bukan sekadar angka statistik, tapi bukti nyata bahwa alam bisa pulih kalau kita serius menanganinya.
Pemulihan ekosistem SM Paliyan dimulai pada 2002-2003 melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diresmikan Presiden Megawati di petak 137 dan 138. Kawasan karst Gunungkidul yang terkenal gersang dan berbatu ini berhasil bertransformasi menjadi habitat biodiversitas yang kaya. Hasil pendataan flora fauna tahun 2024 menunjukkan keanekaragaman hayati yang beragam meliputi 5 jenis mamalia, 13 jenis herpetofauna, 19 jenis capung, dan 65 jenis kupu-kupu.
Inilah contoh konkret bagaimana Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting dengan pendekatan ilmiah dan partisipatif. Data ekologis terkini juga mencatat peningkatan signifikan dalam tutupan vegetasi dan keragaman flora asli karst seperti bendo, preh, lo, mojo, dan timoho yang ditanam berdasarkan riset Fakultas Kehutanan UGM sejak 2015.
Model Kolaborasi Triple Helix yang Terbukti Efektif

Rahasia di balik kesuksesan Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting terletak pada model kolaborasi unik yang melibatkan tiga pilar: pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Kerja sama antara Balai KSDA Yogyakarta, Mitsui Sumitomo Insurance Group (MSIG), dan masyarakat empat desa penyangga (Karangasem, Karangduwet, Kepek, dan Jetis) berlangsung sejak 2005 hingga 2016.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam kunjungannya pada 6 Mei 2025 menyatakan: “Apresiasi terhadap pola kerjasama yang dilakukan Sumitomo, masyarakat dan BKSDA dalam pengelolaan kawasan dan disaat yang sama juga harus direplikasi karena keberhasilannya sudah terlihat.” Partisipasi masyarakat lokal bukan sekadar pelengkap, tapi menjadi kunci utama keberlanjutan program.
Menariknya, program ini juga mencakup pemberdayaan ekonomi melalui budidaya tanaman hortikultura, pertanian, dan kehutanan. Kementerian Kehutanan memberikan dukungan infrastruktur berupa sumur bor, rumah pembibitan, dan peralatan pendukung. Ini membuktikan bahwa konservasi dan kesejahteraan masyarakat bisa berjalan beriringan dalam upaya Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting.
“Partisipasi masyarakat sangat luar biasa. Sekuat apapun pendanaan dan penjagaan, jika masyarakat tidak dilibatkan, pengalaman di tempat lain hutannya tidak lestari.” — Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan RI
Rehabilitasi Pantai Selatan: 2.500 Cemara Laut untuk Masa Depan

Program Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting tidak hanya fokus pada kawasan karst. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY bersama PLN Peduli, Yayasan AII, dan FKPPRS melaksanakan rehabilitasi ekosistem pantai dan pesisir dengan menanam 2.500 batang cemara laut di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul pada September 2024.
Penanaman cemara laut dipilih karena tanaman ini memiliki peran krusial dalam konservasi lahan pantai dan mitigasi bencana. Filosofi Hamemayu Hayuning Bawana yang berarti menjaga dunia tetap indah dan lestari menjadi landasan filosofis program ini, selaras dengan tata nilai budaya Yogyakarta yang universal dan holistik.
Tanaman cemara laut efektif menahan abrasi pantai dan angin kencang yang berpotensi merusak permukiman warga. Selain berfungsi sebagai penahan angin, pembentuk iklim mikro dan habitat satwa, nilai estetika pohon cemara laut juga turut menambah daya tarik tersendiri dalam pembentukan ekosistem ekonomi yang berbasis pariwisata. Ini contoh nyata bagaimana Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting dengan pendekatan kearifan lokal dan sains modern.
Data Ekosistem Karst: Tantangan dan Solusi Inovatif

Ekosistem karst Gunungkidul termasuk kategori ekosistem paling menantang untuk direhabilitasi. Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas 434,60 hektare tercakup dalam ekosistem karst Gunung Sewu yang bercirikan tanah latosol atau tanah lempung dengan kedalaman minimal, berbatu-batu, dan kering. Tantangan teknis ini membuat banyak program rehabilitasi di tempat lain gagal.
Namun, Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting melalui inovasi teknik penanaman yang disesuaikan dengan kondisi karst. Pada 2005-2016, Mitsui Sumitomo menanam tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) dengan tujuan penghijauan, menyediakan pakan satwa dan pemberdayaan masyarakat. Kemudian pada 2015, fokus beralih ke tumbuhan asli karst yang ditanam dalam demplot pemulihan ekosistem.
Pendekatan berbasis riset ini terbukti efektif. Penanaman jenis-jenis asli karst tersebut didasarkan pada hasil penelitian salah satu dosen Fakultas Kehutanan UGM terkait tanaman asli kawasan karst. Tanaman native karst seperti bendo, preh, lo, mojo, dan timoho memiliki tingkat survival rate lebih tinggi dan mampu beradaptasi dengan kondisi ekstrem kawasan yang semula gundul akibat penebangan ilegal pasca reformasi 1998.
Program RESPON: Rekayasa Ekosistem Tingkat Nasional

Keberhasilan lokal Yogyakarta menjadi inspirasi program nasional. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melaksanakan sosialisasi program RESPON (Rekayasa Ekosistem Sinergi Kebijakan Pascabencana: Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Indonesia) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 8 September 2025.
Program RESPON merupakan inisiatif Kedeputian Penanggulangan Bencana dan Konflik Sosial yang memiliki tiga output utama: Tim Koordinasi Nasional, Kartu Kendali Monitoring dan Evaluasi, serta Forum Kebijakan. Yogyakarta dipilih sebagai lokasi sosialisasi perdana karena track record-nya dalam menunjukkan bagaimana Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting dengan model tata kelola yang sistematis dan kolaboratif.
Asisten Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kemenko PMK, Monalisa Rumayar, menegaskan: “Melalui KITATANGGUH dan RESPON, Kemenko PMK mendorong lahirnya tata kelola bencana yang lebih sistematis, kolaboratif, dan berbasis data. Harapannya, masyarakat tidak hanya siaga, tetapi juga memiliki budaya tangguh bencana yang mengakar.” Sosialisasi ini dihadiri pentahelix dari berbagai universitas dan organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta.
Dampak Ekonomi dan Sosial bagi Masyarakat Lokal

Aspek penting dari Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting adalah dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui persemaian, penanaman, pemeliharaan tanaman, pembinaan dan pendampingan kelompok serta kegiatan yang berkaitan dengan sekolah literasi. Empat desa penyangga SM Paliyan merasakan peningkatan pendapatan dari kegiatan konservasi.
Pemberdayaan masyarakat saat ini dilakukan melalui budidaya tanaman hortikultura, pertanian dan kehutanan di Desa Karangasem, Karangduwet, dan Jetis. Kementerian Kehutanan mendukung dengan bantuan pembuatan sumur bor, rumah pembibitan, peralatan, dan pendampingan kelompok. Program ini menciptakan diversifikasi ekonomi bagi warga yang sebelumnya hanya bergantung pada pertanian tadah hujan.
Budidaya tanaman kehutanan yang dilakukan masyarakat di daerah penyangga SM Paliyan meliputi jenis-jenis MPTS seperti Sengon dan tanaman native karst. Melalui kerja sama dengan MSIG, tanaman jenis native karst dibeli dan ditanam di dalam kawasan SM Paliyan. Kegiatan budidaya ini sudah cukup berhasil dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat. Inilah bukti bahwa Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting sambil meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Fakta Menarik: Kawasan yang semula gundul akibat penebangan illegal, kini mulai terpulihkan ekosistemnya dengan keragaman hayati yang mencakup 5 jenis mamalia, 13 jenis herpetofauna, 19 jenis capung, 65 jenis kupu-kupu, dan 41 jenis burung.
Pembelajaran untuk Generasi Muda: Replikasi ke Seluruh Indonesia
Model sukses Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting memberikan pembelajaran berharga bagi generasi muda Indonesia. Menteri Kehutanan dalam kunjungannya menyatakan: “Apresiasi terhadap pola kerjasama yang dilakukan Sumitomo, masyarakat dan BKSDA dalam pengelolaan kawasan dan disaat yang sama juga harus direplikasi karena keberhasilannya sudah terlihat.”
Raja Juli Antoni juga menekankan perlunya riset lanjutan melihat fenomena rehabilitasi hutan Suaka Margasatwa Paliyan ke arah positif. Ia berharap proses rehabilitasi hutan di SM Paliyan yang melibatkan kerja sama semua unsur, termasuk masyarakat, bisa direplikasi oleh wilayah lain. Model ini harus menjadi benchmark untuk direplikasi di lahan-lahan kritis lain secara terukur dengan melakukan penghijauan, rehabilitasi dan sekaligus bisa melibatkan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat dengan adanya hutan.
Untuk Gen Z yang peduli lingkungan, ada banyak cara terlibat:
- Volunteer Programs: Bergabung dengan organisasi seperti Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) untuk program rehabilitasi lokal
- Kampanye Digital: Gunakan media sosial untuk menyebarkan kesadaran tentang pentingnya konservasi
- Green Skilling: Ikuti pelatihan teknis pengelolaan lingkungan dan rehabilitasi hutan
- Community Action: Inisiasi program penanaman di lingkungan kampus atau komunitas berbasis riset
Baca Juga 10 Satwa Langka Dunia yang Hidupnya Terancam 2025
Masa Depan Cerah Rehabilitasi Ekosistem Indonesia
Kisah Yogyakarta tampilkan keberhasilan rehabilitasi ekosistem genting membuktikan bahwa dengan komitmen kuat, kolaborasi multi-stakeholder, dan pendekatan berbasis sains, kita bisa memulihkan ekosistem yang telah rusak. Dari hanya 20 jenis burung di 2006 menjadi 41 jenis pada 2025, dari lahan karst gundul menjadi habitat biodiversitas kaya dengan 5 jenis mamalia, 13 jenis herpetofauna, 19 jenis capung, dan 65 jenis kupu-kupu—semua ini adalah bukti nyata yang terverifikasi Kementerian Kehutanan bahwa Indonesia mampu menjaga kelestarian alam.
Tiga kunci sukses yang bisa kita pelajari:
- Kolaborasi Solid: Pemerintah (BKSDA), swasta (MSIG), dan masyarakat (4 desa penyangga) bekerja bersama sejak 2005-2016
- Pendekatan Ilmiah: Menggunakan jenis tanaman native karst berdasarkan riset Fakultas Kehutanan UGM sejak 2015
- Pemberdayaan Ekonomi: Konservasi yang menguntungkan masyarakat lokal melalui budidaya hortikultura, pertanian, dan kehutanan
Poin mana yang paling bermanfaat menurut data yang kamu baca? Apakah model kolaborasi triple helix, pendekatan berbasis riset, atau pemberdayaan ekonomi masyarakat? Share pendapatmu di kolom komentar dan mari kita belajar bersama untuk masa depan Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan! 🌱